Definisi
Xerostomia secara harfiah berasal dari bahasa Yunani, “xeros” yang berarti kering dan “stoma” yang berarti mulut (Abyono 1991) . Keadaan ini bukan merupakan suatu penyakit, melainkan tanda atau gejala dari proses patofisiologi yang terjadi dan disebabkan oleh berbagai macam faktor, semisal gangguan pada sistem syaraf, medikasi, gangguan kelenjar ludah, terapi radiasi terutama pada leher dan kepala. Pada kondisi normal, produksi saliva adalah 500-1500 ml/hari dan rata-rata saliva yang ada di rongga mulut adalah 1 ml. Seseorang dikatakan menderita xerostomia jika produksi salivanya kurang dari setengah standar normal produksi saliva (Abyono 1991).
Xerostomia dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat reversibel dan ireversibel. Reversibel yaitu kekeringan mulut masih dalam taraf rendah dan bersifat sementara. Ini biasanya terjadi pada pasien yang menderita gangguan emosi, gangguan keseimbangan cairan elektrolit, bernafas menggunakan mulut dalam jangka waktu cukup lama, merokok, dan mengonsumsi obat-obatan tertentu. Sedangkan ireversibel yaitu kekeringan mulut berada pada taraf permanen yang bisa disebabkan oleh pasien yang menderita sindroma Sjogren, sarkoidosis, setelah terapi radiasi, obstruksi kelenjar saliva, dan kerusakan syaraf autonom (Pudjirochany 2001).
|
Xerostomia |
Patofisiologi
Penyakit yang menyerang kelenjar saliva dapat berakibat pada berkurangnya saliva, yang akan menimbulkan berbagai gejala dalam mulut seperti terjadinya infeksi yang disebabkan oleh bakteri sialanenitis bakterial. Kelenjar-kelenjar ludah tersebut terletak di bawah lidah, daerah otot pipi dan di daerah dekat langit-langit. Sekitar 99,5% air ludah terdiri dari air dan sisanya terdiri atas zat-zat seperti kalsium, fosfor, natrium, dan magnesium. Di samping itu juga terdapat mucin, enzima-enzima seperti enzima amylase (Kielbassa et al., 2006).
Keluhan mulut kering sering ditemukan pada usia lanjut. Keadaan ini disebabkan oleh adanya perubahan atropi pada kelenjar saliva sesuai dengan pertambahan umur yang akan menurunkan produksi saliva. Mulut kering disebabkan karena pernafasan melalui mulut yang terus menerus, tetapi juga oleh gangguan fungsi kelenjar ludah mayor. Perasaan mulut kering terjadi bila kecepatan resorpsi air oleh mukosa mulut bersama-sama dengan penguapan air mukosa mulut lebih besar daripada kecepatan sekresi ludah. Normal diproduksi 500-600 ml ludah tiap hari. Bila sekresi ludah besarnya 20-90 ml/hari maka ini disebut hiposialia. Pada sekresi ludah kurang dari 0,06 ml/menit (=3 ml/jam) akan timbul keluhan mulut kering. Bila produksi kurang dari 20 ml/hari dan berlangsung dalam waktu lama, maka keadaan ini disebut xerostomia. Adapun xerostomia yang disebabkan oleh pelaksanaan terapi radiasi cenderung lebih permanen dibandingkan penyebab lainnya (Kielbassa et al., 2006). Terapi radiasi, semisal kemoterapi, terutama di daerah leher dan kepala, dapat menyebabkan perubahan kualitas maupun kuantitas saliva di dalam rongga mulut ( Mahan & Escott-Stump ).
|
Penyebab umum xerostomia |
Gejala
Gejala umum xerostomia adalah saliva kental dan berbusa, bibir kering dan pecah, rasa terbakar, yang cenderung menyebabkan penderitanya mengalami kesulitan dalam menelan (disfagia), kadangkala rasa sakit dalam mulut, dan juga gangguan fungsi pengecapan. Disfagia akan sangat dirasakan bagi penderita yang benar-benar kekurangan saliva. Ini menyebabkan seluruh aspek yang berhubungan dengan proses makan mengalami kesulitan, mulai dari mengunyah hingga menelan. Adanya xerostomia ini juga menyebabkan peningkatan resiko karies gigi dan beberapa iritasi juga infeksi lainnya pada penderitanya ( Mahan & Escott-Stump ).
Penatalaksanaan
Jika xerostomia disebabkan oleh pengaruh pemberian obat tertentu, semisal antidepressants dan antihistamines, dianjurkan untuk segera berkonsultasi ke dokter untuk menghentikan ataupun mengganti jenis obat yang dikonsumsi. penderita. Waktu pemakaian obat dapat dirubah untuk menyesuaikannya dengan waktu makan, sehingga memungkinkan stimulasi saliva melalui proses makan untuk menghalangi efek kekeringan. Penggunaan obat saat tidur harus dihindari, dikarenakan sekresi saliva terletak di level terendah saat tidur (Binnie & Wright 1986). Pada pengobatan, biasanya penderita akan diberikan beberapa obat penstimulasi saliva bila menderita xerostomia ireversibel, semisal obat cemiveline, anethole trithione, dan yohimbine.
Anjuran Gizi
Dilihat dari aspek gizi, perubahan pemasukan cairan pada penderita xerostomia harus lebih diperhatikan, terutama jika penderita tidak cukup minum. Disarankan penderita minum air mineral yang cukup sepanjang hari dan susu sewaktu makan. Air akan membantu membersihkan dan membasahi mukosa, walaupun air tidak bisa menggantikan fungsi saliva. Sedangkan susu akan membantu penderita saat menelan bolus makanan. Jika penderita kesulitan menelan, untuk sementara konsumsi makanan dengan konsistensi lunak atau cincang agar kebutuhan gizi penderita tetap terpenuhi. Jenis makanan bisa disesuaikan dengan kemampuan pasien, mudah dicerna, rendah serat, dan tidak mengandung bumbu yang tajam dan merangsang (Almatsier 2004). Hindari konsumsi alkohol (termasuk mouthwash yang mengandung alkohol), karena cenderung menimbulkan dehidrasi (Nasution 2007). Penting juga untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut dengan senantiasa menggosok gigi minimal dua kali sehari secara teratur dan konsumsi buah dan sayur. Ada beberapa jenis bahan makanan bisa dijadikan alternatif untuk merangsang produksi saliva, misalnya saja pilocarpine dan makanan/minuman bercita rasa jeruk, dan juga permen tanpa gula yang bisa membantu mengurangi kesulitan saat makan ( Mahan & Escott-Stump 2004).
|
Hindari merokok |
|
Perbanyak konsumsi air putih |
|
Perbanyak konsumsi sayur dan buah |
|
Rutin membersihkan gigi dan mulut |
Daftar Pustaka
Abyono R. Ludah dan Kelenjar Ludah Artinya Bagi Kesehatan Gigi. Yogyakarta : Gajah Mada Universitiy Press.
Almatsier S. 2002. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Binnie WH dan Wright JM. Oral mucosal disease in the elderly. In Cohen Bertram, Thomson Hamish, eds. 1986. Dental care for the elderly. 1st ed. London: William Heinemann Medical Books Ltd 72-8.
Hartono A. 2004. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta : EGC.
Kielbassa et al. 2006. Radiation-related damage to dentition, Lancet Owol 7:326.
Mahan L. K. and Escott-Stump S. 2004. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy.
Nasution H. 2007. Penegakan diagnosis dan penatalaksanaan pembuatan gigi tiruan penuh pada pasien edentulus penderita xerostomia [skripsi]. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara.
Pudjirochany E. 2001. Penanganan Penderita Xerostomia yang Memakai Gigi Tiruan Lengkap. Majalah Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, hal 386-388.